Kecerdasan seseorang bisa dilihat dari perbuatannya. Keilmuan seseorang bisa dilihat dari pembicaraannya. Dan keimanan seseorang bisa dilihat dari kejujurannya.(pepatah)

Cerita peradaban

Sebelum datangnya Islam, di negeri seperti Mesir yang terkenal dengan toleransi dan keterbukaan peradaban dan dapat hidup damai dengan bangsa lain serta dipengaruhi oleh mereka, agama monoteis “Akhnaton” (1369-1352 SM) menghancurkan tempat-tempat ibadah “Amon”, dan menindas para pendetanya serta memburu para pengikutnya ke seluruh penjuru dunia. Sebaliknya, ketika agama “Amon” mengalahkan agama “Akhnaton”, ia membalas penindasan itu dengan penindasan yang sama, sehingga ajaran itu dilenyapkan sama sekali dari muka bumi.

Ketika agama kristen masuk ke Mesir, para pendeta Kristen melakukan gerakan pembasmian terhadap agama kuno mereka, kemudian mereka menghancurkan tempat-tempat ibadah agama kuno itu, serta membakar perpustakaan-perpustakaannya dan menyalib para tokoh agama dan filosofnya.


Demikian juga Romawi paganis di Mesir juga melakukan penindasan terhadap para pengikut Kristen Koptik. Penindasan itu terus berlangsung hingga setelah negara Romawi memeluk agam Kristen juga. Hal itu karena perbedaan sekte dalam agama Kristen telah menjadi sumber tindakan penindasan dan pembasmian oleh orang-orang Mulkan Byzantium terhadap para pengikut Jacobisme Mesir. Sampai saat ini orang-orang Kristen Mesir masih mencatat era para martir mereka, yang menjadi martir melalui tangan orang-orang Kristen seperti mereka juga, karena semata perbedaan sekte antara mereka. Satu mazhab tidak dapat menerima kehadiran mazhab yang lain, meskipun masih berada dalam satu agama.

Bahkan, orang-orang Kristen Mesir juga melakukan penindasan itu terhadap sebagian golongan mereka sendiri. Kaum Ortodoks yang mazhabnya dibangun oleh Ignatius (295-373 M) menindas para pengikut “Ariusme” monoteis yang dinisbatkan kepada Arius (280-336 M) dan memburu para pengikutnya hingga menghapuskan mereka dari muka bumi.

Sejarah agama di Mesir dan keberagamaannya, sama sekali tidak mengenal toleransi kemajemukan dan pluralitas. Hal itu baru terjadi setelah di Mesir dikibarkan bendera-bendera Islam, dan Amru bin Ash (574-664M) mendeklarasikan keamanan beragama bagi orang-orang yang memeluk agama selain Islam. Juga memberikan keamanan kepada mereka yang tertindas, yaitu orang-orang Koptik Mesir, sehingga orang-orang yang sebelumnya melarikan diri ke padang-padang pasir dan ke gua-gua, kembali ke kampung halaman mereka, dan Islam mengembalikan hak mereka untuk bebas memilih agama dan mazhab mereka. Bahkan Islam juga mengembalikan gereja-gereja mereka yang telah dirampas. Islam adalah agama yang pertama mengakui dan memberikan kebebasan bagi orang-orang yang tidak seagama untuk secara bebas menggunakan tempat-tempat ibadah mereka. Dan, Al-Quran adalah Kitab Suci pertama yang tidak saja berbicara tentang keharusan menjaga masjid-masjid, bahkan meletakkan penyebutannya dalam urutan terakhir sesuai sejarah dari sekian tempat-tempat ibadah agama-agama yang beragam,

“...Dan, sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-ruma ibadah orang Yahudi, dan masjid-masjid yang didalamnya banyak disebut nama Allah…”

Pemaksaan dan penindasan ini terjadi di seluruh penjuru peradaban barat dan terus berlangsung sepanjang sejarahnya sebagai suatu kebiasaan buruk yang menakutkan, yang terus dipelihara dan diikuti secara besar-besaran. Tentang hal ini, cukup menelaah satu referensi ilmiah yang ditulis oleh orientalis yang jujur yaitu Sir Thomas W. Arnold (1874-1930 M),

Charlemagne (742-814 M) mewajibkan kepada orang-orang Saxon untuk memeluk Kristen dengan ancaman pedang. Di Denmark, Raja Cnut membasmi agama-agama non-Masehi dari negerinya dengan kekuatan dan teror. Di Prusia kelompok Persaudaraan Pedang (Brotheren of The Sword) memaksakan agama Kristen kepada orang-orang dengan kekuatan pedang dan api.

Di Livonia, para tentara Ordo Fatrum Militane Christ mewajibkan masyarakat untuk memeluk Kristen dengan paksa.

Di Norwegia bagian selatan, Raja Olav Tragivson membunuh semua orang yang tidak mau masuk Kristen, atau memotong dua tangan dan kaki mereka, dan memenjarakan atau megusir mereka, sehingga Kristen menjadi satu-satunya agama yang hidup di negeri tersebut.

Di Rusia pada tahun 988 M, Vladimir mengharuskan semua orang, baik para tuan maupun para hamba sahaya, yang kaya dan miskin untuk memeluk agama Kristen.

Di Gunung Hitam (Montenegro), Balkan, uskup pemerintah, Daniel Petrovich memimpin proses pembunuhan terhadap orang-orang non-Kristen, termasuk diantaranya orang-orang Islam, pada malam Natal tahun 1703 M.

Di Hungaria pada tahun 1340 M, Raja Charles Robert memaksa orang-orang non-Kristen untuk memeluk Kristen, jika menolak mereka segera diusir dari negeri itu

Di Spanyol, sebelum terjadinya pembebasan oleh Arab, konsili ke-enam Tolitoli, mengharamkan seluruh mazhab selain mazhab Katolik, dan raja-raja berjanji untuk menjalankan undang-undang ini dengan kekuatan yang mereka miliki.

Ketika kekuasaan dan metode peradaban Barat meluas, sejarah menyaksikan penindasan dan pemaksaan ini. Kristen Yakobian di Mesir dan Timur ditindas oleh kaum Ortodoks Mulkan, dengan dibunuh, diasingkan atau diusir. Gutanian I (527-565 M) membunuh dua ratus ribu orang Koptik di Kota Aleksandria, dan orang-orang yang selamat dari pembantaian itu melarikan diri ke padang pasir.

Di Antiokia terjadi pemaksaan dan penindasan yang sama terhadap orang-orang non-Kristen dan terhadap orang-orang Kristen yang tidak semazhab dengan yang dipegang oleh pemerintah Romawi.

Di Ethiopia, raja Saip Ar’ad (1342-1370 M) memerintahkan untuk menghukum mati setiap orang yang tidak mau masuk Kristen, atau mengusirnya dari negeri itu. Hal itu juga dilakukan oleh raja John pada seperempat terakhir abad ke 19 M, apalagi jika ditambah catatan derita kaum muslimin Andalusia yang diakibatkan oleh Ferdinand dan Isabella.

Sedangkan Islam, sejak menegakkan benderanya di wilayah-wilayah ini, Amirul Mukminin Umar Bin Khaththab bersama sahabat-sahabat Rasulullah saw yang lain ketika memasuki Al-Quds (15H/636 M) menjanjikan bagi warga di situ “Perjanjian Umar” yang mengatur kebebasan beragama dan hak untuk memilih agama secara bebas bagi setiap orang, serta diakuinya pluralitas. Kita dapati mereka menggelar selendang-selendang mereka, kemudian mereka gunakan untuk membawa kotoran-kotoran dan sampah-sampah yang diletakkan oleh orang-orang Romawi di tempat-tempat ibadah, dan mereka menggembalikan kesucian tempat-tempat ibadah itu. Mereka juga melakukan hal yang sama terhadap tempat-tempat yang pernah digunakan untuk menyembah Allah SWT, sesuai dengan syariat agama yang berbeda, kemudian mereka mendirikan masjid-masjid dan mihrab-mihrab, yang didalamnya dibacakan ayat suci,

“Rasul telah beriman kepada Al-Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan), ‘Kami tidak membeda-bedakan antara seorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya’, dan mereka mengatakan ‘Kami dengar dan kami taat’. (Mereka berdoa), ‘Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali’” (al-Baqarah:285)

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat…” (al-Baqarah:256)

“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku” (al-Kaafirun:6)

Ar Yu ReDEY..?!