Konsep Hadits Dalam Wacana Keilmuan Syi'ah
Diskursus
hadits dalam wacana keilmuan Syi'ah telah mempunyai akar yang panjang dan
dilakukan dengan cukup intens. Perhatian mereka terhadap hadist/sunnah, menurut
sebagian orang, membuat mereka berhak pula untuk menyandang gelar Ahlu Sunnah
wa Syi'ah --namun bukan wa al Jama'ah.
Dr. Muhammad
At-Tîjâni as-Samâwie --seorang Sunni yang kemudian membelot ke Syi'ah, ketika
melakukan kajian komparatif antara Sunnah dan Syi'ah, memberikan judul bukunya
tersebut: Asy-Syî'ah Hum Ahlu Sunnah. Namun demikian, dalam beberapa hal,
metodologi hadist Syi'ah amat berlainan dengan metodologi Ahlu Sunnah. Kajian
tentang metodologi hadist dalam Syi'ah Imamiah telah menjadi objek sebuah
risalah doktoral di fakultas Ushuluddin Universitas al Azhar. Pada penghujung
tahun 1996, risalah tersebut telah diuji dan dinyatakan lulus.
a. Term Hadist
Hadist/Sunnah,
secara terminologis, menurut ulama ilmu hadist Ahlu Sunnah Wa al Jama'ah
adalah: Seluruh hal yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw, baik perkataan,
perbuatan, persetujuan, sifat fisik maupun akhlak dan sirah beliau.
Sedangkan dalam wacana keilmuan Syi'ah, perkataan imam-imam Syi'ah (yang
ma'shum, menurut kaum Syi'ah) juga bersatus seperti hadist dan diterima seperti
Alquran.
Hal itu
karena, menurut M.H. Al Kâsyif al Githa, imam atau imamah adalah kedudukan
Ilahiah yang Allah pilihkan bagi hamba-Nya, sesuai dengan ilmu Allah, seperti
Allah memilih para nabi. Menurut kaum Syi'ah pula, Allah telah memerintahkan
Nabi Saw. untuk menunjukkan imam kepada umat dan memerintahkan mereka untuk
mengikutinya.
Substansi
khabar, hadist dan riwayat-riwayat tersebut, menurut kaum Syi'ah terbagi
menjadi tiga macam:
Pertama: Khabar dan riwayat yang mengandung
petunjuk pembersihan jiwa, akhlak, nasehat dan cara-cara pengobatan penyakit
hati. Dengan muatan berisi pertakut, ancaman, dan dorongan. Atau yang berkaitan
dengan tubuh, seperti kesehatan, penyakit, sakit dan pengobatan. Juga manfaat
buah-buahan, tetumbuhan, pepohonan, air dan batu mulia. Atau yang mengandung
do'a, zikir, jampai dan keutamaan ayat-ayat. Serta semua hal yang disunnahkan,
baik dalam pembicaraan, perbuatan, maupun sikap. Itu semua, menurut kaum
Syi'ah, bisa dijadikan landasan untuk beramal ibadah. Dan tidak perlu mencari
tahu apakah sanad dan matannya shahih atau tidak. Kecuali jika ada tanda-tanda
yang menunjukkan kepalsuannya.
Kedua: Yang mengandung hukum syara'
parsial, taklifi atau wadl'i. Seperti thaharah, berwudlu, cara shalat, zakat,
khumus, jihad dan semua bagian mu' amalat, transaksi yang diperbolehkan. Juga
tentang nikah, thalaq, warisan, hudud dan diyat. Semua khabar dan riwayat
tersebut tidak boleh langsung dijalankan. Namun diberikan kepada faqih yang
mujtahid untuk menterjemahkannya . Sedangkan orang awam harus mengikuti
mujtahid marji'.
Ketiga: Khabar dan riwayat yang mengandung
pokok-pokok aqidah, seperti pengitsbatan al Khaliq Swt., juga tentang hasyr,
barzakh, sirâth, mîzân, hisâb dan lain-lain. Khabar dan riwayat seperti ini,
jika berkaitan dengan aqidah dan pokok agama -seperti tauhid, 'adl, nubuwwah,
imâmah dan ma'ad, jika khabar tersebut sesuai dengan dalil-dalil 'aqli,
urgensi, dan tanda-tanda yang qath'i, maka ia dapat dijalankan, dan tidak perlu
menyelidiki sanad, keshahihan dan ketidak shahihannya.
b. Metoda Klasifikasi Hadist
Hadist,
menurut Syi'ah terbagi menjadi dua bagian, mutawattir dan ahad. Hadist
mutawattir adalah hadist yang diriwayatkan oleh sebuah jama'ah yang mencapai jumlah
yang amat besar sehingga tidak mungkin mereka berbohong dan salah. Hadist
seperti ini adalah hujjah dan harus dijadikan landasan dalam beramal. Sedangkan
hadist ahad adalah hadist yang tidak mencapai derajat tawatur, rawie yang
diriwayatkannya satu atau lebih. Kemudian, hadist ahad diklasifikasikan
menjadi empat bagian.
1. Shahih
Yaitu hadist
yang diriwayatkan oleh seorang penganut Syi'ah Imamiah yang telah diakui
ke-adalah-annya dan dengan jalan yang shahih.
2. Hasan
Yaitu jika
rawi yang meriwayatkannya adalah seorang Syi'ah Imamiah yang terpuji, tidak ada
seorangpun yang jelas mengecamnya atau secara jelas mengakui ke-adalah-annya.
3. Muwats-tsaq
Yaitu jika
rawie yang meriwayatkannya adalah bukan Syi'i, namun ia adalah orang yang
tsiqat dan terpercaya dalam periwayatan.
4. Dla'if
Yaitu hadist
yang tidak mempunyai kriteria-kriteria tiga kelompok hadist di atas, seperti
misalnya sang rawie tidak menyebutkan seluruh rawie yang meriwayatkan hadist
kepadanya. Hadist shahih adalah hujjah menurut kesepakatan seluruh ulama Syi'ah
yang mengatakan bahwa khabar ahad adalah hujjah. Sedangkan hadist
muwats-tsaq dan hasan, menurut pendapat yang masyhur keduanya adalah hujjah,
sedangkan menurut pendapat kedua mengatakan bahwa keduanya tidak dapat dijadikan
hujjah. Namun pendapat yang kuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa keduanya
dapat dijadikan hujjah. Adapun hadist dla'if, menurut kesepakatan seluruh
ulama Syi'ah tidak dapat dijadikan hujjah.
c. Kitab-kitab Hadist
Dalam
kalangan Syi'ah, kitab-kitab hadist yang dijadikan pedoman utama -dan berfungsi
seperti kutub sittah dalam kalangan sunni- ada sebanyak 4 buah kitab.
- Kitab al Kâfi. Disusun oleh Abu Ja'far Muhammad bin Ya'qub al Kulayni (w.328 H.). Kitab tersebut disusun dalam 20 tahun, menampung sebanyak 16.090 hadist. Di dalamnya sang penyusun menyebutkan sanadnya hingga al ma'shum. Dalam kitab hadist tersebut terdapat hadist shahih, hasan, muwats-tsaq dan dla'if.
- Kitab Ma La Yahdluruhu al Faqih. Disusun oleh ash-Shadduq Abi Ja'far Muhammad bin 'Ali bin Babawaih al Qummi (w.381 H.). Kitab ini merangkum 9.044 hadist dalam masalah hukum.
- Kitab at-Tahzib. Kitab ini disusun oleh Syaikh Muhammad bin al Hasan ath-Thusi (w.460 H.). Penyusun, dalam penulisan kitab ini mengikuti metode al Kulayni. Penyusun juga menyebutkan dalam setiap sanad sebuah hakikat atau suatu hukum. Kitab ini merangkum sebanyak 13.095 hadist.
- Kitab al Istibshar. Kitab ini juga disusun oleh Muhammad bin Hasan al Thusi. Penysusun kitab at-Tahzib. Kitab ini merangkum sebanyak 5.511 hadist.
Di bawah
derajat ke empat kitab ini, terdapat beberapa kitab Jami' yang besar. Antara
lain:
- Kitab Bihârul Anwâr. Disusun oleh Baqir al Majlisi. Terdiri dalam 26 jilid.
- Kitab al Wafie fi 'Ilmi al Hadist. Disusun oleh Muhsin al Kasyani. Terdiri dalam 14 juz. Ia merupakan kumpulan dari empat kitab hadist.
- Kitab Tafshil Wasail Syi'ah Ila Tahsil Ahadist Syari'ah. Disusun oleh al Hus asy-Syâmi' al 'Amili. Disusun berdasarkan urutan tertib kitab-kitab fiqh dan kitab Jami' Kabir yang dinamakan Asy-Syifa' fi Ahadist al Mushthafa. Susunan Muhammad Ridla at-Tabrizi.
- Kitab Jami' al Ahkam. Disusun oleh Muhammad ar-Ridla ats-Tsairi al Kâdzimi (w.1242 H). Terdiri dalam 25 jilid. Dan terdapat pula kitab-kitab lainnya yang mempunyai derajat di bawah kitab-kitab yang disebutkan di atas. Kitab-kitab tersebut antara lain: Kitab at-Tauhid, kitab 'Uyun Akhbâr Ridla dan kitab al 'Amali.
Kaum Syi'ah,
juga mengarang kitab-kitab tentang rijal periwayat hadist. Di antara
kitab-kitab tersebut, yang telah dicetak antara lain: Kitab ar-Rijal, karya
Ahmad bin 'Ali an-Najasyi (w.450 H.), Kitab Rijal karya Syaikh al Thusi, kita
Ma'alim 'Ulama karya Muhammad bin 'Ali bin Syahr Asyub (w.588 H.), kitab Minhâj
al Maqâl karya Mirza Muhammad al Astrabady (w.1.020 H.), kitab Itqan al Maqal
karya Syaikh Muhammad Thaha Najaf (w.1.323 H.), kitab Rijal al Kabir karya
Syaikh Abdullah al Mumaqmiqani, seorang ulama abad ini, dan kitab lainnya.
Satu yang
perlu dicatat: Mayoritas hadist Syi'ah merupakan kumpulan periwayatan dari Abi
Abdillah Ja'far ash-Shadiq. Diriwayatkan bahwa sebanyak 4.000 orang, baik orang
biasa ataupun kalangan khawas, telah meriwayatkan hadist dari beliau. Oleh
karena itu, Imamiah dinamakan pula sebagai Ja' fariyyah. Mereka berkata
bahwa apa yang diriwayatkan dari masa 'Ali k.w. hingga masa Abi Muhammad al
Hasan al 'Askari mencapai 6.000 kitab, 600 dari kitab-kitab tersebut adalah
dalam hadist.
d. 'Adalah Shahabat
Shahabat
Rasulullah Saw. adalah: Orang yang berjumpa dengan Rasulullah Saw. dengan cara
biasa dalam masa hidup beliau dan saat itu orang tersebut telah masuk Islam dan
beriman. Dalam wacana keilmuan Ahlu Sunnah, seluruh sahabat adalah 'udul.
Oleh karena itu, ketika menjalankan proses jarh wa ta' dil dalam ilmu hadist
untuk menentukan apakah riwayat seseorang diterima atau tidak, Ahlu Sunnah akan
berhenti sampai pada tabi'in (perawie setelah sahabat). Dan mereka tidak
memasuki kawasan sahabat, karena meyakini bahwa sahabat adalah 'udul dengan
pengakuan dari Allah SWT Sehingga tidak perlu dilakukan analisa jarh wa ta'dil.
Sikap mereka
tersebut berdasarkan pernyataan ayat Al Quran yang mendeklarasikan ke adalahan
sahabat. Ayat-ayat itu antara lain terdapat pada QS. At-Taubah:117 .
"Sesungguhnya
Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang
Anshar".
Juga QS.
At-Taubah: 100
Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang
Muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah
ridla kepada mereka dan merekapun ridla kepada Allah". Dan Rasulullah Saw.
dalam banyak kesempatan telah berwanti-wanti agar tidak mengusik kehormatan dan
kedudukan sahabat, mengingat kedudukan mereka yang mulia di sisi Allah Swt.
Rasulullah Saw bersabda: "Jangan kalian kecam sahabat-shabatku"
(Hadist Muttafaq 'Alaih). Menurut riwayat yang sahih, imam-imam Syi'ah juga
melarang untuk mengecam, sahabat Rasulullah Saw. Karena Seperti dikatakan
oleh An-Naubakhti dalam kitab Firaq Syi'ah, fenomena pengecaman terhadap
sahabat justru dimulai oleh Abdullah bin Saba'; seorang Yahudi yang
berpura-pura memeluk Islam dan kemudian menyebarkan perpecahan dalam Islam. Ia
pula yang pertama menuhankan Ali k.w. Sedangkan dalam wacana keilmuan Syi'ah,
tidak semua sahabat, menurut Syi'ah, bersipat 'udul. Karena di dalam Al
Quran juga diterangkan tentang keberadaan orang-orang munafiq di Madinah,
seperti dalam QS. At-Taubah:101, dsb. Maka jalan untuk mengetahui mu'min dan
munafiknya seseorang, menurut Syi'ah, adalah dengan melihat apakah orang-orang
tersebut cinta kepada 'Ali k.w atau nmembencinya. Jika ia mencintainya, maka ia
adalah mu'min, dan jika membencinya berarti ia adalah munafiq.
Dari logika
seperti itu, maka sahabat-sahabat yang mereka anggap telah merampas hak 'Ali
k.w. atau tidak mendukungnya adalah munafik atau kafir. Dalam kitab-kitab kaum
Syi'ah akan didapati banyak cercaan kepada sahabat yang mereka anggap telah
munafik, sesat atau malah kafir.
Dalam buku
Syubhat Haula Syi'ah, 'Abbas 'Ali al Musawie membagi sahabat menjadi dua
kelompok. Pertama kelompok yang setia dan kedua kelompok yang mereka anggap
telah sesat.
Yang pertama
adalah sahabat-sahabat seperti 'Ammar bin Yasir, Miqdad dan Abu Dzar al
Ghifari.
Sedangkan kelompok
yang kedua, menurutnya lagi adalah seperti Mu'awiyyah bin Abi Sufyan,
Abu Hurairah dan Al Walid bin 'Uqbah bin Abi Mu'ith.
Dalam
buku-buku kaum Syi'ah akan banyak didapati cercaan terhadap sahabat. Dan
cercaan tersebut tidak hanya terbatas pada shigar sahabat, namun juga menimpa
dua Syaikhain: Abu Bakar dan 'Umar Ra. Yang dapat disebutkan di sini adalah,
bahwa dengan sikap Syi'ah terhadap sahabat seperti itu, maka kaum Syi'ah dalam
periwayatan hadist, hanya menerima periwayatan dari sahabat-sahabat yang loyal
kepada mereka.
Namun, jika
klaim mereka tersebut diterima, maka secara implisit hal itu akan mempunyai
dampak yang luas. Misalnya: Bahwa Rasulullah Saw telah gagal dalam menyampaikan
risalahnya, karena mayoritas sahabat yang beliau didik dan bina telah
menyimpang, bahwa kekhalifahan dan dinast-dinasti Islam, serta capaian
peradaban yang telah mereka wujudkan adalah bukan hasil peradaban Islam, karena
dilakukan oleh orang-orang yang --menurut kaum Syi'ah-- telah menyimpang
(munafik atau kafir). Dan konsekuens-konseksuensi logis lainnya.
Sekte-sekte Dalam Syi'ah
Secara global, sekte-sekte dalam mazhab Syi'ah tersebut dapat diklasifikasikan menjadi tiga varian.Pertama: Kelompok ekstreem/ghulat
Menurut Imam Abu al Hasan al 'Asy'ari, mereka adalah kelompok yang telah menyebal dari kelaziman konsep Syi'ah. Sehingga mereka meyakini hal-hal yang membawa kepada kekafiran. Mereka antara lain menuhankan 'Ali k.w, menuhankan salah seorang pemimpin mereka, mendakwakan diri sebagai nabi dan lain sebagainya. Dalam kategori kelompok ekstreem ini, menurut Abu al Hasan al Asy'ari terdapat sebanyak 15 sekte. Yaitu: al Bayâniyyah, al Janâhiyyah, al Harbiyyah, al Mughîriyyah, al Manshuriyah, al Khithâbiyyah, al Ma'mâriyyah, al Buzaighiyyah, al 'Umairiyyah, al Mufadl-dlaliyyah, asy Syarî 'iyyah, an Numairiyyah, as Sabaiyyah, dan tiga sekte lainnya yang menuhankan Nabi, 'Ali dan keturunannya.Kedua: Kelompok Imammiyyah
Mereka juga dinamakan sebagai rafîdlah (penolak), karena menurut Abu Hasan al Asy'ari mereka menolak dan mengingkari kepemimpinan Abu Bakar dan 'Umar. Dalam kelompok ini terdapat 24 sekte. Mereka sepakat bahwa Nabi Saw. telah menggariskan bahwa 'Ali k.w.-lah pemangku kekhalifahan setelah beliau, dengan menyebut namanya secara jelas dan telah mendeklarasikannya kepada umat. Mereka juga berpendapat bahwa mayoritas sahabat Rasulullah Saw. telah sesat karena tidak mengikuti 'Ali Kw. setelah wafatnya Rasulullah Saw. Mereka juga berpendapat bahwa imamah hanya dapat diterima jika telah digariskan oleh nash dan imamah tersebut merupakan hak khusus keturunan Rasulullah Saw. Ke-24 sekte tersebut adalah: al Qath'iyyah, al Kaisaniyyah, al Karbiyyah, ar Rawandiyyah, ar Razâmiyyah, Abu Muslimiyyah,al Harbiyyah, al Bayâniyyah, al Mughîriyyah, al Husainiyyah, al Muhammadiyyah, an Nasâwiyyah, al Qarâmithah, al Mubârakiyyah, as Samîthiyyah, al 'Ammâriyyah (al Futhiyyah), az Zarâiyyah, al Waqîfah, al Musâiyyah, dan beberapa sekte lainnya yang masing-masing mempunyai doktrin yang berbeda.Ketiga: Kelompok Zaidiyyah
Dalam kelompok ini terdapat 6 sekte, yaitu al Jarudiyyah, as-Sulaimaniyyah, al Batriyyah, an Nu'aimiyyah, al Ya'qubiyyah dan satu firqah yang berlepas diri dari Abu Bakar r.a. dan 'Umar r.a. M.H. Al Kasyif al Githa, dalam kitab Ahlu 'sy-Syî'ah wa Ushûluha, bahkan mengatakan bahwa jika term Syi'ah diperluas bagi semua sekte yang mengaku sebagai Syi'ah, maka barangkali akan ada seratus atau lebih sekte dalam Syi' ah. Namun menurutnya lagi, saat ini, terma Syi'ah hanya khusus bagi Imamiyyah sebagai sekte terbesar setelah Ahlussunnah wa al Jamâ'ah. Tentang sekte-sekte di dalam Syi'ah tersebut, sengaja penulis singgung di sini, untuk menunjukkan bahwa betapa untuk memformulasikan suatu konsep hubungan Sunnah-Syi'ah, kita akan mengalami kesulitan. Karena masing-masing sekte dalam Syi'ah tersebut mempunyai doktrin yang berbeda, maka sikap dan penilaian terhadap masing-masing tersebutpun akan berbeda pula. Namun, dengan pengkhususan nama Syi'ah bagi Imamiah oleh M.H. Al Kasyif al Githa, penentuan sikap terhadap Syi'ah akan lebih mudah dilakukan. Dan penulis artikel inipun akan membatasi kajian hadist pada sekte Syi'ah Imamiyyah. Namun, patut dicatat pula, bahwa pengkhususan yang dilakukan M.H. Al Kasyif al Githa tersebut amat arbitrer, karena secara implisit ia telah mencampakkan semua sekte-sekte lain yang bernaung di bawah bendera Syi'ah selain Imamiyyah. Seperti Zaidiah dan sebagainya. Sikap monopolis tersebut tentu akan ditentang oleh tokoh-tokoh Syi'ah non-Imamiah. Ironisnya, klaim Syi'ah sebagai mazhab Ahlul Bait, saat ini amat patut dipertanyakan. Karena pada kenyataannya -seperti dikatakan oleh Sayyed Hossein Nasr dalam pengantarnya terhadap buku Shi'te Islam, karya M.H.Thabathaba'i- mayoritas Ahlul Bait saat ini justru bermazhabkan Sunni. Beberapa ulama dari Ahlul Bait, seperti Sayyid Muhammad bin Alawy al Hasany di Mekkah misalnya, menjadi ulama-ulama sunni yang disegani, dan mereka dengan bersemangat mengcounter dan mengungkapkan kerancuan mazhab Syi'ah itu.
Definisi, Akar Historis dan Sekte-sekte Dalam Syi'ah
Terma "Syi'ah", secara etimologis berarti pengikut dan pendukung. Di dalam Al Quran, akar kata Syi'ah: syai' atau syuyu' dan derivasinya (penulis juga memasukkan kata jadian yang dihasilkan oleh proses Isytiqaq akbar a la Ibn Ginni) terulang sebanyak 13 kali. Namun dari ke 13 penggunaan kata tersebut, hanya ada satu kata yang digunakan dalam konteks kebaikan, yaitu QS. Ash-Shaffat:83, yang menceritakan keluarga nabi Ibrahim AS. yang datang dengan hati bersih. Sedangkan 12 kata lainnya digunakan antara lain untuk mengungkapkan kelompok yang durhaka kepada Allah (QS.19:69), dalam permusuhan dan perkelahian (QS. 28:15), perpecahan (QS. 6:65), pemecah belah agama (QS. 6:159), kelompok Fir'aun (QS. 28:4), kelompok yang dihancurkan (QS. 54:51), penyebar keburukan (QS. 24:19) dan seterusnya.
Secara terminologis, Syi'ah adalah kaum muslimin yang menganggap pengganti Nabi Saw. merupakan hak istimewa keluarga Nabi (dalam hal ini 'Ali KW dan keturunannya), dan mereka yang dalam bidang pengetahuan dan kebudayaan Islam mengikuti mazhab Ahlul Bait.
Dr. Muhammad 'Imarah menegaskan bahwa sekadar merasa cinta kepada ahli bait saja tidak cukup untuk menggolongkan seseorang sebagai Syi'ah. Seseorang baru bisa dikatakan Syi'ah, menurutnya lagi, jika ia telah mengimani bahwa Ali KW. (23SH-40H/600M-661M) telah ditunjuk sebagai pengganti Rasulullah Saw. dengan nash dan washiat.
Tentang awal kemunculan Syi'ah dalam pentas sejarah dunia Islam, para penulis dan sejarawan terbagi dalam dua varian:
Varian pertama: Berpendapat bahwa tasyayyu'/syi'ah adalah mazhab pertama yang tumbuh dalam Islam, dan telah muncul pada masa Rasulullah Saw., dan nama Syi'ah adalah nama sekte pertama yang timbul dalam Islam. Sahabat-sahabat yang digolongkan Syi'ah adalah: Abu Dzar al Ghifari r.a., Salman Al Farisi r.a, Miqdad bin Aswad, dan 'Ammar bin Yasir RA. Pendapat seperti itu tampak pada M.H. Thabathaba'i, Muhammah Jawwad al Mughniyah, M.H. Al Kasyif al Ghitha dan ulama-ulama Syi'ah lainnya. M.H. Kasyif al Ghitha malah mengatakan bahwa adalah Rasulullah Saw. sendiri yang telah menanamkan akar Syi'ah.
Varian kedua: Berpendapat bahwa jika yang dimaksud adalah Syi'ah dalam pengertian terminologis, maka ia baru timbul pasca kepemimpinan 'Ali KW. dalam rentang waktu yang cukup panjang. Pendapat ini tampak pada penulis-penulis non-Syi'ah. Terutama Mu'tazilah, mereka mengatakan bahwa Syi'ah yang dikenal sekarang ini baru timbul pada masa Imam Ja'far Shadiq (80-148H/599M-765M). Melihat data-data yang ada, kedua pendapat di atas dapat digabungkan menjadi satu kesimpulan: Bahwa jika yang dimaksud dengan terma Syi'ah adalah sekadar fenomena keinginan sebagian orang untuk mengangkat 'Ali KW. sebagai khalifah, maka betul ia adalah mazhab pertama yang dikenal dalam sejarah Islam dan telah tumbuh pada masa akhir hidup Rasulullah Saw. dan awal kekhalifahan Abu Bakar RA. Namun, jika yang dimaksud dengan terma Syi'ah adalah sebuah mazhab besar dengan segala teori, pendapat dan perjalanan historisnya, maka ia baru timbul pada penghujung masa 'Utsman RA, dan awal masa 'Ali KW.
Dalam masa hidup Ali KW, menurut Abu Nasywan al Himyary, Syi'ah yang mendukung 'Ali KW dalam perang Jamal dan Shiffin dapat diklasifikasikan dalam tiga varian kecenderungan.
Pertama: Adalah kecenderungan mayoritas Syi'ah saat itu, adalah kelompok yang mengakui kekhalifahan Abu bakar RA dan 'Umar RA. Mereka juga mengakui kekhalifahan 'Utsman RA hingga pada masa di mana 'Utsman RA telah melakukan perubahan dan melakukan hal-hal yang mereka anggap telah menyimpang.
Kedua: Kelompok yang lebih kecil dari kelompok pertama. Mereka berpendapat bahwa runtutan kekhalifahan setelah Rasulullah Saw. adalah Abu Bakar RA, 'Umar RA dan 'Ali KW. Sedangkah kekhalifahan 'Utsman RA tidak mereka akui. Oleh karena itu, menurut al Jahidz, pada masa awal Islam, yang dinamakan syi'i adalah orang-orang yang mendahulukan 'Ali KW atas 'Utsman RA. Sehingga, menurutnya lagi, saat itu dikenal ada Syi'i dan 'Utsmani. Yang pertama adalah orang-orang yang mendahulukan 'Ali KW atas 'Utsman RA, sedangkan yang kedua adalah orang yang mendahulukan 'Utsman atas 'Ali KW.
Ketiga: Kelompok yang paling kecil. Yaitu mereka yang menganggap bahwa orang yang paling utama memangku kekhalifahan setelah Rasulullah Saw adalah 'Ali KW.
Dari ketiga kecenderungan di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa mayoritas pendukung Syi'ah tidak melebihkan 'Ali atas semua sahabat Rasulullah Saw. Namun mereka hanya melebihkannya atas 'Utsman. Dan, pelebihan mereka atas 'Utsman itupun bukanlah sebuah konsensus pemikiran yang diamini oleh semua pendukung Syi'ah, namun mayoritas mereka melebihkannya atas 'Utsman RA. setelah 'Utsman RA melakukan tindakan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang mereka anggap telah melanggar sunnah Rasulullah Saw. dan dua khalifah sebelumnya. Dan, tentu saja apa yang sedang berlangsung pada masa tersebut adalah sebuah proses tarik-menarik antar masing-masing kekuatan politik dengan masing-masing pendukungnya. Sesuatu yang logis terjadi dalam sebuah sistem masyarakat di manapun berada.
Perang Jamal dan Shiffin yang berakhir dengan arbitrase, yang kemudian mendorong timbulnya Khawarij dan Murji'ah, ditambah dengan pembantaian Karbala, mendorong mereka untuk mencari akar ideologis mereka sendiri. Sejarah memang telah mencatat betapa perlakuan dan nasib yang menimpa mereka amat malang. Pasca perang Shiffin yang merenggut kekuasaan politik mereka, diteruskan dengan pembantaian Karbala dan terbunuhnya Husein RA, sejarah memang tampak tidak berpihak kepada mereka. Setelah tragedi-tragedi yang menyedihkan tersebut, mereka masih terus dihantui pengejaran serta pembantaian secara massal terhadap Ahli Bait Rasulullah Saw. dan pendukungnya.
Dalam buku Khilafah dan Kerajaan yang ditulis oleh Abu al A'la al Maududi, kita akan merasakan kesedihan yang dalam (atau malah menangis) ketika membaca penuturan penulis tentang perlakuan-perlakuan kejam yang telah menimpa keturunan Rasulullah Saw. Dengan cukup jelas ia menguraikan kejadian demi kejadian yang menimpa Ahlu Bait Rasulullah Saw.
Dalam masa-masa tersebut, terjadi kristalisasi klasifikasi in group dan out group dalam Syi'ah. Penentuan siapa kita dan siapa orang luar kita makin mengental, terutama proses pembentukan konsep ideologis dan metode mempertahankan diri. Contoh menarik bagi yang terakhir adalah dibentuknya konsep taqiyyah sebagai upaya untuk mempertahankan diri, kepercayaan, harta benda, dan harga diri. Syaikh al Anshari mendefinisikan taqiyah sebagai berikut: Menjaga diri dari perlakuan buruk dari orang lain dengan menyetujui perkataan dan perbuatannya yang bertentangan dengan kebenaran. Sehingga terjadi kemudian transformasi kekuatan politik menjadi sebuah sistem ideologi (teologi) dalam Syi'ah.
Pada masa 'Ali k.w, pendukung (syi'ah) beliau tidak menggunakan nash-nash al Qur'an dan Hadist untuk menjustifikasikan keberhakan 'Ali k.w. dan keturunannya sebagai pemegang kekhalifahan. Hal itu ditunjukkan oleh sikap 'Ali Kw yang membai'at Abu Bakar r.a., 'Umar r.a, dan 'Utsman r.a. Karena jika benar ada nash yang jelas-jelas menunjuk 'Ali k.w. sebagai pengganti Rasulullah Saw. tentunya 'Ali Kw. tidak akan membai'at orang lain untuk memangku jabatan itu sebanyak tiga kali, tanpa pernah menyinggung nash-nash itu. Namun, dalam proses transformasi Syi'ah dari sebuah kekuatan politik menjadi sebuah ideologi (teologi), kita dapati kemudian semua kecenderungan politis dan teologis Syi'ah telah mempunyai "mantel" baik dari al Qur'an maupun Hadist.
Tentang al Qur'an, penghampiran teologis Syi'ah dalam al Qur'an tampak dalam klaim yang sering didengungkan bahwa Syi'ah mempercayai adanya pengurangan dan penambahan Al Quran. Walaupun pendapat itu, saat ini, ditolak oleh banyak ulama-ulama Syi'ah, namun pada tataran realitas, klaim tersebut dapat menemukan justifikasinya karena ia memang tertulis dalam kitab-kitab yang mu'tamad dalam Syi'ah. Salah satu bentuk pengurangan Al Quran, menurut Syi'ah adalah penghapusan nama 'Ali k.w. dalam Al Quran. Misalnya adalah dalam QS. Al Ahzab: 71. Menurut riwayat al Kulayni --dalam kitabnya al Kâfi seharusnya tertulis: Wa man yuthi'i Allah wa rasûlahu (fî wilâyati 'Aly wa al aimmah ba'dahu) faqad fâza. Bentuk lain penghampiran teologis Syi'ah pada Al Quran adalah dengan menafsirkan dan mentakwilkan Al Quran sesuai dengan konsep-konsep mazhab tersebut. Misalnya dalam tafsir al Mîzân karya M.H. Thathaba'i, kita dapati: ketika sampai pada QS. Al Imran: 163. firman Allah Swt: Hum darajâtun 'inda Rabbihim, ia menafsirkan: Dari ash-Shadiq: Orang -orang yang mengikuti keridlaan Allah Swt. adalah para imam. Mereka, demi Allah! adalah derajat-derajat di sisi Allah bagi orang mu'minin. Dengan loyalitas dan kecintaan mereka kepada kami, Allah Swt. akan melipat gandakan ganjaran pahala mereka dan mengangkat derajat mereka. Sedangkan orang-orang yang mendapatkan kemurkaan Allah Swt. adalah orang yang mengingkari hak 'Ali dan hak imam-imam Ahli Bait. Oleh karena itu mereka mendapat murka Allah Swt.
Dalam tataran hadist, penghampiran teologis terhadap konsep-konsep Syî'ah makin mengental. Di sini, kita memang dituntut untuk lebih banyak lagi mencurahkan perhatian dan energi. Karena konsep-konsep ilmu hadist Syi'ah berlainan atau malah, dalam beberapa segi, berseberangan dengan konsep hadist dalam wacana keilmuan Ahlu Sunnah. Oleh karena itu, pada sub-judul yang akan datang penulis akan memberikan stressing-point pada kajian hadist dalam wacana keilmuan Syi'ah. Secara sambil lalu, perlu ditekankan bahwa sekte Syî'ah bukanlah tunggal, namun ia terdiri dari beberapa sekte kecil di dalamnya.
Dialog Tentang Sunni-Syiah
AP 1. Dalam "perjalanan" Bapak
untuk "memberikan kontribusi pemikiran bagi hubungan Sunnah-Syi'ah",
adakah pernah Bapak temui sekte Syi'ah kontemporer yang memiliki keyakinan
semisal sekte Syi'ah di masa "awal" nya dahulu seperti tergambar
dalam ungkapan Bapak di atas (= mengakui keabsahan syar'i atas kekhalifahan Abu
Bakar, Umar dan Utsman, serta tidak bersikeras tentang "nash" dan
"washiyat" sebagaimana sikap Imam Ali k.w. kepada tiga pendahulunya
itu)?
Alkattani: Barangkali, Syi'ah Zaidiah dapat
kita masukkan dalam kategori itu. Karena dalam masalah kekhalifahan, mereka
mengakui Abu Bakar, Umar dan Utsman r.a. dan tidak mengimani dogma 'nash' dan
'washiat' itu. Bahkan jabatan imam Zaidiah, pada suatu waktu, dipegang oleh
orang semacam Qasim ar Rassi, yang merupakan seorang keturunan Hasan. Sementara
Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali, imam pertama Zaidiah, adalah
keturunan Husain. Artinya, dalam masalah ini mereka boleh dikatakan amat
moderat. Bagi mereka, keimamahan (pemimpin negara) tidak ditentukan oleh nash
atau warisan, namun oleh adanya bai'at manusia. Dengan begitu, mereka berbeda
jauh dengan Itsna Asyariah. Sekte ini juga telah mampu mendirikan negara dengan
pimpinan imam. Atau bisa dinamakan dengan negara Zaidiah. Pertama di wilayah
Dailam, arah selatan lautan Khazar pada tahun 250 H, oleh Hasan bin Zaid. Yang
kedua adalah di Yaman, didirikan oleh al Hadi ilal Haqq Yahya bin Husein.
Negara yang kedua ini berumur panjang, dan baru berakhir pada tahun 1962 M,
dengan digantikan oleh negara Republik Yaman.
AP: 2. Tentang common platform yang bapak
kemukakan (yakni Tauhid); adakah "kesamaan" ini --menurut hemat
Bapak-- "cukup" untuk mengantarkan pada kesatuan dalam wilayah yang
paling sensitif, semisal "kepemimpinan" dan "pemerintahan"?
(saya melihat salah satu pra-syarat mutlak untuk itu adalah menemukan sekte
Syi'ah seperti yang saya tanyakan di atas, dalam jumlah yang cukup
memadai/dominan di kalangan penganut Syi'i. Yakni penganut Syi'ah yang bersikap
seperti Imam Ali k.w. pada ketiga khalifah pendahulunya).
Alkattani: Dalam segala hal, alhamdulillah,
saya selalu optimis. Terutama tentang hal ini. Karena, secara empirik, kita
justru mendapati banyak manusia yang disatukan oleh hal-hal yang sepele. Lantas
mengapa kemudian justru ada orang yang tidak mau disatukan oleh faktor
pemersatu yang besar dan agung? Kita sering menyaksikan adanya orang yang
dipersatukan oleh fanatisme klub sepakbola, angkatan, daerah, suku dan
sebagainya. Bahkan tak jarang kita menemukan orang yang rela menyabung nyawa
demi membela kehormatan 'faktor persatuan'nya itu. Untuk itu, saya optimis
sekali jika tauhid ini bisa dijadikan faktor pemersatu umat Islam. Yang
terpenting adalah adanya 'will' untuk bersatu pada semua pihak. Jika sudah ada
kehendak, insya Allah segala jalan akan terbuka. Sementara jika tidak ada keinginan
dan sengaja menghindar, maka jalan yang ada pun malah menjadi rusak. Hal ini
terutama pada diri pemimpin dan tetuanya. Saat berdialog tentang Syi'ah dengan
teman-teman, saya seringkali tersentak dan kesal: mengapa yang dibicarakan
melulu tentang sahabat a salah, sahabat b brengsek, sahabat c penghianat dan
sebagainya. Apakah setelah habis membicarakan segala keburukan itu lantas
tiba-tiba kita menjadi lebih baik? suci? menjadi pahlawan? dan telah berbuat
sesuatu yang baik bagi umat ini? Malah, saking kesalnya karena terlalu sering
diberikan pertanyaan tentang perseteruan antar sahabat, saya jawab seseorang
yang bertanya seperti itu dengan berguyon: "seandainya bapak adalah
keturunan Ken Arok dan saya adalah keturunan Jayakatwang, apakah kita layak
bertengkar setiap hari untuk membela kebenaran sudut pandang masing-masing
pihak; apalagi jika kita kemudian mengajak teman, saudara, tetangga, orang
sekampung, dan pengikut kita semua untuk saling mengecam orang-orang yang
berada nun jauh di belakang sejarah kita itu. Artinya, perdebatan-perdebatan
kosong seperti itu amat tidak produktif, dan malah bisa menjadi indikasi
kebodohan seseorang. Cuma masalahnya, untuk menciptakan pengikut yang setia dan
membentuk loyalitas in group yang kuat, orang membutuhkan sentimen-sentimen
yang dapat 'membakar' mereka, dan melebur mereka dalam kesatuan group itu.
Contohnya, kebencian rakyat Indonesia terhadap penjajah dapat menghantarkan
bangsa ini untuk berjuang menyabung nyawung demi mendapatkan kemerdekaannya.
Nah, pemimpin yang baik, dalam kondisi seperti itu adalah pemimpin yang dapat
mengobarkan kebencian itu sedemikian rupa, hingga meledak-ledak, dan siap untuk
dimuntahkan. Oleh karena itu, pemimpin yang laku pada masa itu adalah pemimpin
yang dapat membakar semangat massa, seperti Soekarno dan sebangsanya. Dalam
kontek pembicaraan kita, sayangnya fenomena semacam itu masih ada. Dan
dimanfaatkan betul. Sehingga setiap orang seakan-akan membawa dosa warisannya
masing-masing: artinya pihak yang mengaku syi'ah membawa dosa warisan sebagai
pihak tukang kecam sahabat, pencaci maki, dan pemecah belah umat; sementara
pihak yang mengaku sebagai ahli sunnah membawa dosa warisan sebagai penindas,
pembunuh, oportunis, perampas kekuasaan dan sebagainya. Selanjutnya,
masing-masing pihak seakan-akan berhak untuk saling menghunuskan lidah dan
pedangnya. Padahal, pada kenyataannya, keduanya sedang diperbudak oleh
fatamorgana sejarah semata. Kesadaran seperti inilah yang patut disebarkan
kepada seluruh umat Islam. Sehingga semuanya dapat saling berjabat erat dengan
mesra tanpa 'direcoki' oleh beban sejarah. Pristiwa-peristwa tragis yang sudah
berlalu, kita sesali, namun itu bukan salah kita, sehingga kita tidak perlu
merasa dibebani, tetapi kita berusaha agar peristiwa semacam itu jangan sampai
terulang kembali.
AP: 3. Masih tentang common platform
(Tauhid); adakah "pra-syarat" lain --menurut Bapak-- agar ajakan pada
"kalimatun-sawa" ini (yang dalam nash Al-Qur'an ditujukan - bahkan -
kepada Ahlul Kitab di luar Islam) dapat terwujud dalam penataan sebuah
masyarakat yang sangat majemuk dalam meyakini konsep-rujukannya? (dalam konsep
fiqhul-ikhtilaf yang saya pahami, terdapat perbedaan yang sangat fundamental
antara "ikhtilaf al-masyru'" dengan "tafarruq al-madzmum".
Dan perbedaan itu - disamping persoalan yg bersumber dari isu moral/akhlaq -
sangat terkait dengan persoalan "kesamaan-konsep-rujukan". Tanpa
kesamaan di level konsep rujukan, betapa musykilnya terjadi
"ikhtilaf" yang produktif dalam arti yang sebenarnya.
Alkattani: Kembali saya ulang, pada intinya
semua itu terletak pada kemauan. Jika kita ingin bersatu, niscaya kita akan
mencari faktor-faktor persamaan yang menyatukan kita. Sementara jika kita ingin
berpisah, tentu yang kita cari-cari adalah kesalahannya. Insya Allah kita akan
menemukan banyak faktor pemersatu. Tidak hanya satu. Tauhid itu tok.
Katakanlah
kita menyenangi seseorang, niscaya kita akan memfokuskan perhatian kita pada
'sisi manis' orang itu. Dan jika kemudian sesuatu yang 'pahit dan
menjengkelkan' dari dirinya, secara reflek diri kita akan menghapus dan
mentolerirnya dengan menampilkan kembali 'sisi manis' itu. Begitu juga
sebaliknya.
Perbedaan
tauhid yang menyatukan sunni dengan syi'ah dengan tauhid yang menyatukan muslim
dengan Ahli Kitab adalah: jika antara sunni dan syi'ah, maka keduanya berada
dalam lingkup tauhid itu. Sebagai sesama pemeluk tauhid. Sementara terhadap
Ahli Kitab, mereka masih berada di luar area tauhid. Dan oleh karenanya, Islam
mengajak mereka untuk masuk ke area tauhid, sehingga bertemu dalam kesatuan
agama.
Tauhid dapat
menjadi common platform yang baik jika ia dijadikan sebagai poros atau aksis
kehidupan umat Islam. Artinya masing-masing orang harus melepaskan dulu
ikatan-ikatan emosionalnya, untuk kemudian secara berkesadaran meletakkan
tauhid itu sebagai inti kehidupannya. Dengan landasan tauhid itulah ia
berpikir, melihat, mengecap, bertindak, berreaksi, dan bergaul. Dengan frame of
reference tahuid pula ia membaca, menimbang, merenungkan, dan membuat suatu
keputusan. Nah, dengan tauhid sebagai frame of reference ini, insya Allah tidak
ada sesuatu pun yang membedakan kita satu sama lain, sesama kaum Muslimin. Baru
setelah kita melebarkan frame of reference kita, akan ditemukan
perbedaan-perbedaan itu. Misalnya perbedaan mazhab, kecenderungan ruhani,
aliran teologi, dan sebagainya. Namun tetap berada dalam kesatuan sebagai
'anak-anak tauhid' itu.
Dalam
titik-titik perbedaan itulah kita membutuhkan kesadaran berfiqh ikhtilaf.
Artinya masing-masing mentolerir sebesar mungkin perbedaan-perbedaan yang ada,
selama masih berada dalam kerangka tauhid. Dan saling bantu-membantu pada
titik-titik persamaan.
Contohnya,
saat ini Bapak berada di Indonesia, dan saya berada di Mesir. Apa yang
menyatukan kita? apa yang menghubungkan kita? Yang menyatukan kita adalah kesamaan
kehendak untuk berdialog dengan baik, dan kebetulan ada sarana mailing list. Di
sini, faktor pemersatu kita khan kecil sekali. Bisa saja faktor pemersatu ini
kita perbesar (dalam kontek ini bisa dengan mengirim japri, mencari titik-titik
persamaan, dan sebagainya), dan dapat pula kita hancurkan (misalnya dengan
saling caci-caci maki, dan kemudian masing-masing unsubscribe).
Ikhtilaf
atau perbedaan itu masih dibenarkan (masyru') selama berada dalam koridor frame
of reference Islam. Dan semata untuk memperkaya wacana keislaman, serta sebagai
manifestasi dari keniscayaan adanya perbedaan antar manusia. Bukan untuk saling
berhadap-hadapan, saling menyalahkan, saling membinasakan. Jika yang terakhir,
maka hal itu menjadi perbedaan yang tercela dan terlarang (tafarruq madzmum).
Oleh karena
itu, marilah kita sesama umat Islam mulai mengkalkulasikan persatuan kita
dengan dimulai dari lingkar tauhid. Kemudian diperlebar-diperlebar dan
diperlebar. Sambil mulai mengikis perbedaan-perbedaan yang ditimbulkan oleh
ke-'khilapan' sedikit demi sedikit.
Insya Allah,
masa depan persatuan kita akan cerah.
Terima Kasih
Wassalamu'alaikum
wr. wb.
Abdul Hayyie al Kattani
Abdul Hayyie al Kattani
Hubungan Sunnah-Syi'ah di Indonesia: Tauhid sebagai Common Platform
Kembali ke dataran realitas di Indonesia. Masalah yang ada kemudian adalah bagaimana mencari formulasi yang tepat untuk dalam satu waktu mengambil apa yang baik dari Syi'ah --seperti tradisi filsafat dan keilmuan yang cukup subur-- dan pada saat yang sama mampu menghindari bias negatif konsep tersebut bagi kaum muslimin di Indonesia, dan secara lebih umum bagi umat Islam seluruh dunia. Formulasi itu, dalam skala dunia Islam, pernah dilakukan oleh Syaikh Muhammad Syaltut, Grand Syaikh al Azhar. Namun, dikemudian hari tampaknya, usaha tersebut mengalami kemacetan. Kita, dalam upaya pendekatan mazhab, bisa saja menggunakan fiqh ikhtilaf. Yakni dalam hal-hal yang sama kita saling bahu-membahu. Dan dalam hal-hal yang berseberangan kita saling memberikan toleransi. Menurut Prof. Dr. Hamid Algar --seorang muslim Inggris, dan mengajar studi Islam dan Persia di University of California-- selama ini, umat Islam telah begitu banyak memberikan toleransi ke luar, terhadap agama di luar mereka. Namun kurang memberikan toleransi ke dalam antara sesama pemeluk Islam. Namun, dalam kasus Syi'ah, kaum Ahlu Sunnah tentu akan amat-amat keberatan untuk bertoleransi terhadap pengecaman dan pengkafiran para sahabat. Dan dari pihak Syi'ah sendiri, seperti dikatakan oleh S.H. Hossein Nasr, dalam pengantarnya atas buku Muhammad Husain ath-Thabathaba'i, Shi'te Islam, bahwa Syi'ah juga sulit untuk bertoleransi jika toleransi itu berarti harus mengesampingkan apa yang selama ini mereka yakini. Namun, toh ada satu kesatuan yang kita miliki bersama, yaitu tauhid. Maka tauhid inilah yang kita harapkan dapat menjadi common platform antara Sunnah dan Syi'ah. Sedangkan dalam bentuk-bentuk praktekal. kita bisa menerapkan fiqh muwâzanat dan fiqh awlawiyyat.Wallahu a'lam.
Cairo, Juli 1997
Abdul Hayyie al-Kattani