Pertama. Mu’aqab (kelompok yang diazab), mereka
adalah gologan manusia yang mengerjakan shalat, teapi salah menjalankannya dan
jauh dari sempurna. Selain syarat dan rukunnya diabaikan, mulai dari
pelaksanaan wudlu hingga thaharah lainnya juga tidak mendapat perhatian. Dapat
dikatakan, mereka itu shalat asal-asalan. Waktu shalat sering dilaksanakan
diluar waktunya, sering terlambat, bahkan sering kali tidak dilaksanakan.
Merekalah yang dalam al-Quran disebut “an
shalatihim sahun” orang yang lalai dalam mengerjakan shalat. Kelompok
ini juga termasuk orang yang dhalimun linafsihi, orang yang menzalimi
diri sendiri.
Kedua. Muhasab (kelompom yang dihisab). Golongan ini adalah mereka yang
rajin melaksanakan shalat, menjaga waktu-waktunya, demikian juga syarat, wajib,
dan rukunnya. Secara lahiriah seluruh ketentuan mengenai shalat sudah
dipenuhinya. Wudlunya bagus, pakaiannya menutup aurat, tidak terkena najis,
menghadap qiblat, tepat waktu demikian juga semua rukun shalat tiada cacat.
Sayang, satu hal yang kurang pada kelompok ini adalah kehadiran hatinya. Pada
saat shalat, hati dan pikirannya tidak dijaga sehingga melayang-layang entah
kemana.
Ketiga. Mukaffar ‘anhu. (yang diampuni dosa-dosanya). Setingkat lebih baik
lagi adalah kelompok orang yang senantiasa menjaga batasan-batasan shalat,
menjalankan sunnah-sunnahnya, sekaligus bersungguh-sungguh di sisi Allah SWT
dari segala godaan nafsu was-was yang mengotori pikiran dan perasaannya. Dalam
shalatnya mereka sibuk menjaga hati dan pikirannya. Mereka berkonsentrasi penuh
agar setan tidak berkesempatan mencuri shalatnya.
Keempat. Mutsab. (yang diberi pahala). Tak
sekedar diampuni dosa-dosanya, mereka termasuk orang yang berhak mendapat
pahala yang berlimpah. Mereka ini adalah segolongan kecil orang yang aqimush-shalat (menegakkan shalat),
tidak sekedar menjalankannya. Golongan
ini menegakkan shalat dengan hak-haknya, rukun-rukunnya dan hatinya tenggelam
dalam menjaga batasan-batasannya. Mereka tidak membiarkan hatinya sedikitpun terlena
dari segala hal yang dapat mengganggu konsentrasi shalatnya. Pada tingkatan ini
seluruh anggota tubuhnya berzikir, sebagaimana firman-Nya: “sesungguhnya aku
ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku. Maka sembahlah aku dan
dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku” (Thaha [20]:14)
Kelima. Muqarrib min Rabbihi. (yang mendekatkan diri kepada Allah). Menurut penulis buku ini, tingkatan yang paling tinggi adalah orang yang menegakkan shalat sampai pada tahap muqarrabin, yaitu orang-orang yang dekat dengan Allah. Ketika shalat, golongan ini merasa benar-benar bertemu dan berhadapan dengan Allah. Jika tidak melihat Allah, maka mereka yakin bahwa Allah melihatnya. Mereka meletakkan hatinya dihadapan Allah, merasa diawasi Allah, dan hatinya penuh dengan kedekatan kepada Allah. Dihatinya telah sirna segala was-was dan segala pikiran diluar shalat. Mereka itulah orang-orang yang disebut Nabi SAW sebagai muhsinin.
dimanakah posisi shalat kita??